Oleh: Dr. Ing. Ignas Iryanto*
SUDAH banyak sekali orang yang menulis tentang kasus Nangahale, dengan berbagai latar belakang pemikiran, sudut pandang, maupun latar belakang profesi dan kepakaran.
Ijinkan saya menulis 3 aspek saja, sebagai urun rembug persoalan ini.
Pertama, Aspek Legal
Meskipun bukan orang Legal, namun mencermati banyak informasi dan pemikiran dari berbagai pakar hukum, saya melihat dari aspek legal, tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang diserahkan oleh negara kepada PT Krisrama, sudah final dan sah.
Jika ada yang menolaknya dan mengklaim sebagai pemilik lahan itu, dia harus melakukan gugatan di pengadian. Gugatan atas kepmilikan, sehingga yang digugat adalah negara bukan PT Krisrama.
Jika pihak ini tidak melayangkan gugatan perdata kepemilikan kepada negara, maka segala langkah mereka yang melawan langkah-langkah PT Krisrama untuk mengelola lahan itu sesuai dengan peruntukkan yang diuraikan dalam dokumen HGU, merupakan perbuatan melawan hukum, dan bisa dianggap kriminal.
Untuk menghindari tuduhan kriminal, mereka harus melayangkan gugatan sehingga status lahan tersebut adalah lahan sengketa antar penggugat dengan Negara yang menjadi pemilik HGU tersebut.
Sampai saat ini tidak ada sengketa legal terkait kepemilikan lahan. Jadi secara legal, lahan itu masih milik negara yang mempunyai otoritas untuk menyerahkan pengelolaannya kepada pihak manapun dalam bentuk HGU.
Kedua, Aspek Kemanusiaan
Banyak pihak, umumnya dengan latar belakang pendidikan filsafat, mengklaim bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) berada di atas hukum.
Secara etis, moral mungkin benar dan idealnya memang hukum seharusnya menjamin dihormatinya hak-hak asasi manusia.
Atau apakah seorang tunawisma yang memiliki hak dasar untuk memiliki tempat tinggal, boleh memasuki rumah orang yang mungkin kosong, tinggal di situ dan mengklaim sebagai pemilik rumah itu dengan alasan HAM? Jelas tidak boleh.
Ada hukum yang mengaturnya dan jika itu dilakukan, merupakan pidana pencurian dan perampokan.
Keteraturan sosial dalam suatu negara diatur dengan hukum, bukan dengan HAM.
Jika ada hukum yang melanggar HAM, hukum acara sudah menyediakan mekanisme perubahannya.
Jadi keteraturan sosial diatur oleh hukum dan bukan HAM, dan perubahan hukum pun diatur oleh hukum, bukan oleh HAM.
Klaim kepemilikan adalah klaim yang harus dibuktikan secara hukum, bukan dengan pendekatan HAM.
Yang sekarang beredar luas adalah tuduhan bahwa PT Krisrama bahkan sering Gereja Katolik khususnya Keuskupan Maumere) yang disebut tidak berperikemanusiaan, kejam dan menindas umatnya secara keji.
Hal ini yang berulang kali dituduhkan oleh banyak pihak, baik yang awam maupun beberapa oknum pastor SVD dengan jaringannya.
Benarkah PT Krisrama bahkan Keuskupan serta Uskupnya tidak berperikemanusiaan?
Beberapa fakta di bawah ini bisa memberikan Gambaran tentang hal itu.
1. Gereja Katolik, dalam hal ini Apostolishe Vicariaad van de klaine Soenda Ellanden (vikariat apostolik kepulauan sunda kecil) menerima lahan seluas 1438 hektare (ha) dari perusahaan Belanda dengan membelinya seharga F. 22.500 pada tahun 1926. Ada kuitansi pembayaran sebagai bukti transaksi yang terjadi.
Baru pada tahun 1979 setelah diberlakukan UUPA yang juga mengatur pemberian hak baru atas tanah konversi hak-hak barat, lahan ini direlakan Gereja menjadi tanah negara dan Gereja mengelolanya dalam bentuk HGU yang diberikan oleh negara.
Namun Gereja taat hukum. Lahan yang awalnya seluas 1438 hektare yang dibeli dari perusahaan Belanda, akhirnya menjadi milik negara dan Gereja mengelolanya dalam bentuk HGU seluas lebih dari 800 hektare.
Dari awal sekali, Gereja taat hukum dan melepaskan peluangnya untuk mengklaim kepemilikan berdasarkan transaksi jual beli yang ada dan menyerahkan kepemilikannya kepada Negara.
Waktu itu masih di bawah Keuskupan Agung Ende yang memulai perkebunan kelapa.
3. Menurut informasi, setelah itulah terjadi gelombang masuknya penduduk yang bukan korban tsunami ke dalam wilayah itu. Gereja juga masih membiarkannya, padahal hal itu jelas merupakan penyerobotan lahan.
4. Ketika Gereja, dalam hal ini PT Krisrama milik Keuskupan Maumere yang mendapatkan hibah aset dari Keuskupan Agung Ende setelah pemekaran Keuskupan, mau memperpanjang HGU. Gereja melihat di beberapa titik sudah ada pemukiman penduduk. Gereja memutuskan mengembalikan lebih dari 500 hektare kepada negara untuk dimanfaatkan oleh masyarakat yang sebagian besar adalah umatnya sendiri, dan pemerintah hanya meminta perpanjngan HGU seluas 325 hektare.
Pertimbangan apalagi yang ada jika bukan pertimbangan kemanusiaan.
5. Proses penerbitan HGU seluas 325 hektare ini yang menimbulkan dinamika yang menjadi polemik sosial. Ada yang menuduh PT Krisrama tidak membuka ruang dialog dan mendapatkan perpanjangan HGU tersebut secara konspiratif.
Penulis tidak akan mengulangnya, namun jika ada yang ingin baca dokumennya bisa menghubungi penulis untuk mendapatkannya atau langsung menghubungi PT Krisrama.
Yang akan Penulis uraikan di sini adalah fakta bahwa telah terjadi rangkaian dialog dengan masyarakat bahkan Komnas HAM telah menurunkan tim terpadu untuk mendapatkan fakta lapangan.
Ada dokumen Laporan hasil kerja tim terpadu tersebut yang menguraikan proses kerja dari tim terpadu ini yang telah melakukan rangkaian dialog dengan berbagai pihak termasuk masyarakat dan ditandatangani oleh seluruh stakeholder terkait, termasuk masyarakat yang menduduki lahan HGU.
Kesimpulan dari tim terpadu tersebut adalah bahwa tanah tersebut bukan merupakan tanah adat atau tanah masyarakat adat, namun merupakan tanah bekas HGU dan bahwa tidak ada pelanggaran HAM yang terjadi.
Jadi, adalah manipulatif dan merupakan kebohongan publik, jika ada yang mengatakan PT Krisrama dan Keuskupan menutup diri terhadap dialog dengan masyarakat dan bekerja konspiratif dengan pemda untuk menyengsarakan rakyat dan umatnya.
Ketiga, Aspek Benefit Ekonomi
Banyak yang mengatakan dalam setiap konflik di manapun, selalu ada kaitan dengan kepentingan ekonomi.
Penulis ingin masuk ke aspek ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan reflektif saja.
a. Pihak mana yang mendapatkan manfaat dari pengelolaan HGU seluas 800 hektare sebelum terjadi perpanjangan ini? Yang pasti, Keuskupan Maumere membayar pajak atas HGU ini sebesar lebih dari Rp 100 juta per tahun. Pembayaran ini tetap dilakukan pada fase transisi pengajuan perpanjangan HGU. Ini merupakan manfaat ekonomi bagi negara. Gereja melakukan pembayaran seluas HGU (800 hektare) walaupun de fakto sejak tahun 1992, para penduduk sudah mulai memasuki lahan tersebut dan mengambil manfaat ekonomi secara ilegal sebenarnya tanpa membayar pajak sepeserpun. Keuskupan Maumere mendapatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan kebun kelapa yang ada juga Serikat Sabda Allah (SVD) khususnya Seminari Tinggi Ledalero mendapatkan manfaat dari pengelolaan HGU, khususnya di wilayah Patiahu.
b. Pihak mana yang mendapat benefit ekonomi dari kekisruhan sosial saat ini? (hanya kekisruhan sosial tidak ada sengketa perdata atas kepmilikan).
Yang pasti bukan pihak PT Krisrama yang mendapat benefit ekonomi dari kekisruhan ini.
Ada beberapa informasi yang belum dapat diverifikasi namun biarkan saya ungkapkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan singkat:
1. Apakah masyarakat mengeluarkan dana untuk merawat kekisruhan ini? dana itu diberikan kepada siapa? apa yang dijanjikan? dan apakah janjinya itu dipenuhi?
2. Apakah pernah terjadi transaksi jual beli di atas lahan tersebut? siapa pihak-pihak yang bertransaksi? apakah transaksi tersebut legal? berapa jumlah transaksi tersebut?
3. Siapakah yang de fakto menempati lahan-lahan di sana? apakah mereka masyarakat biasa? ataukah bagian dari aktor-aktor yang mempengaruhi masyarakat untuk terus menentang HGU PT Krisrama?
4. Berapa persen dari rumah-rumah yang dibersihkan oleh PT Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025 yang berpenghuni? berapa buah rumah yang permanen? Apakah para pemilik rumah-rumah itu memiliki rumah di tempat lain juga? Siapa-siapa saja yang sampai saat ini masih bertahan di sana dan terus meyakinkan masyarakat untuk kembali ke lahan sebelumnya?
Siapa pun yang terkait dengan kekisruhan sosial ini dan mengetahui jawaban dari pertanyaan pertanyaan di atas, apalagi yang mengalami langsung, silahkan berlaku jujur dan mengutarakannya ke pihak keamanan yang pasti akan melakukan penyelidikan atas kekisruhan sosial yang terjadi yang sangat meresahkan asyarakat dan umat Katolik Flores.
Kejujuran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas akan membuka tabir sumber sesungguhnya dari kekisruhan sosial yang kini terjadi.
Pihak mana yang mendapat manfaat dari tercapainya ketaatan hukum dengan solusi yang sudah disediakan oleh pemerintah dan gereja:
1. Pemerintah daerah bersama Gereja sudah sepakat bahwa lahan seluas 500 hektare yang telah dikembalikan oleh Gereja kepada negara akan diberikan kepada masyarakat dengan proses Redistribusi.
Artinya, masing-masing warga negara dapat mendaftarkan diri kepada pemerintah Kabupaten Sikka untuk mendapatkan pembagian lahan secara gratis bahkan mendapatkan sertifikat hak milik dari negara.
Hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat terus membangkang dan mengklaim hak milik seperti yang dipropaganda oleh oknum-oknum awam maupun klerus yang menjadi aktor intelektual kekisruhan ini.
Aktor-aktor itu sangat mungkin berharap bahwa gereja akan mengalah, dan akan menyerahkan kepada mereka secara gelondongan dan merekalah yang akan membagikan ke rakyat sesuai janji yang pernah mereka berikan.
Hal yang tidak mungkin terjadi, kecuali mereka menggugat perdata dan memenangkan gugatan tersebut melawan negara.
2. Jika Masyarakat menerima proses Redistribusi, semua pihak akan mendapatkan benefit ekonomi: PT Krisrama, masyarakat, Ledalero serta pemda Sikka, kecuali para aktor intelelektual tersebut.
3. PT Krisrama akan mulai memanfaatkan lahan HGU-nya sebagai perkebunan kelapa sesuai peruntukannya dalam dokumen HGU yang dimiliki.
Menatap Masa Depan
Terkait dengan point terakhir, Penulis memiliki mimpi yang bisa menjadi pertimbangan bagi PT Krisrama, Pemda Sikka dan masyarakat pada umumnya.
Menurut seorang sahabat yang menjadi aktifis pertanian dan secara khusus mendalami seluk-beluk budidaya dan industri kelapa, kebun kelapa di Nangahale dan Patiahu itu sudah saatnya diremajakan.
Dengan kondisi kelapa saat ini, produktivitasnya sangat rendah dan sangat tidak ekonomis mengelola perkebunan kelapa yang luas dengan cost yang tinggi namun produktivitsnya sangat rendah. PT Krisrama sebaiknya mengupayakan modal untuk melakukan peremajaan perkebunan kelapa tersebut.
Saat ini ada bibit kelapa unggul yang menjadi pilihan. Rakyat yang mendapatkan lahan retribusi di sekitar lahan HGU itu bisa menjadi kebun plasma, sementara lahan HGU menjadi kebun inti.
Pola inti plasma bisa dikembangkan di kawasan awal seluas 800 hektare itu. Tentu petani plasma dapat memperoleh bibit kelapa yang sama. Jika kawasan ini sudah berproduksi dengan tingkat produktivitasnya yang pasti lebih tinggi dari saat ini, maka kawasan ini bisa dikembangkan sebagai pusat industri kelapa terpadu yang mengelola seluruh produk kelapa; mulai dari daging, air, sabut dan tempurungnya.
Ada putra Flores yang memiliki jaringan ke industri kelapa terpadu ini bahkan kelompok mitranya bersedia menjadi provider teknology dengan skema investasi yang bisa dibicarakan.
Tentu banyak detail yang harus didiskusikan untuk hal ini, namun ini bisa menjadi awal industrialisasi di Nian Tanah Sikka dimulai dengan kelapa.
Sikka telah memiliki politeknik yang mendidik tenaga-tenaga teknik mesin industri yang bisa menjadi tulang punggung engineering dari industri pengolahan hasil perkebunan seperti ini.
Beberapa titik yang menjadi pusat produksi kelapa di Flores; seperti Adonara, sebagian wilayah Ende, Nagekeo, dapat menjadi supplier buah kelapa ke industri ini, jika skala industrinya membutuhkan bahan baku yang lebih besar dari produksi di wilayah Nangahale ini.
Sekali lagi ini mimpi yang membutuhkan kerja keras dan konsistensi.
Namun bukankah semua perubahan itu dimulai dari mimpi? Walaupun mimpi ini harus dimulai dengan menyelesaikan kekisruhan sosial di Nangahale.
* Penulis adalah Pengamat sosial politik Diaspora Flobamora.
MBAY, DELEGASI.NET – Ketua Komisi II DPRD NTT, Leonardus Lelo meminta pemerintah segera menyelesaiakan masalah…
KUPANG - Wakil Gubernur NTT Johni Asadoma mengunjungi bangunan Pasar Baru Lili di Desa Camplong,…
BORONG, DELEGASI.NET - Rumah milik Almarhum Piet Lapang, mantan Lurah Mandosawu di Mano Kecamatan Lambaleda Selatan ludes…