RD. Leo Mali
MINGGU pertama masa Puasa kita awali dengan kisah injil tentang Yesus yang tiga kali digoda oleh Iblis. (Luk 4:1-13).
Pada godaan ketiga, Iblis membawa-Nya ke puncak Bait Allah dan berkata, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini, sebab ada tertulis: ‘Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau’” (Luk 4:9-10).
Namun, Yesus menolak dengan tegas danmenjawab, “Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Luk 4:12).
Perkataan Yesus “jangan mencobai Tuhan” bukan hanya sekadar respons terhadap godaan Iblis, tetapi juga menjadi pedoman bagi kita dalam menghayati iman.
Mencobai Tuhan berarti menuntut bukti dari kuasa-Nya sesuai dengan kehendak kita. Sikap ini bertolak belakang dengan sikap syukur dan kepercayaan kepada-Nya.
Di bawah tuntunan Roh Kudus, Yesus melewati masa puasa selama 40 hari. IA lelah, lapar dan merasa lemah. Tapi dalam kelemahan-Nya, IA semakin percaya pada kesetiaan Allah Bapa. IA tidak merasa perlu menguji kesetiaan Allah
Bapa yang selalu menyertai-Nya. Kesetiaan bukan soal coba-coba.Dalam Perjanjian Lama, Israel beberapa kali mencobai Tuhan. Mereka bersungut-sungut di padang gurun. Mereka menuntut tanda dan mukjizat. Karena mereka ragu atas kesetiaan-Nya meskipun telah melihat dan mengalami sendiri penyertaan-Nya. Mereka selalu ragu dan tidak bersyukur.
Bacaan pertama dari Ulangan 26:4-10 mengingatkan Israel tentang pentingnya bersyukur dan mengenang perbuatan Tuhan yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Israel diajak untuk bersyukur dengan mempersembahkan hasil pertama dari tanah yang telah diberikan Tuhan. “Apabila engkau telah masuk ke negeri yang diberikan Tuhan, Allahmu, maka haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kau kumpulkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh Tuhan.” (Ul. 26:1-2) Syukur itu adalah adalah ungkapan pengakuan atas kedaulatan Allah terhadap hidup manusia.
Sikap bersyukur, bertolak belakang dengan keinginan untuk mencobai Tuhan. Sebab rasa syukur lahir dari kepercayaan penuh akan kasih dan pemeliharaan Allah. Sementara keinginan mencoba lahir dari keragu-raguan.Kelemahan manusia, suasana bathin yang serba tidak pasti yang kita dalami selama puasa dengan mudah melahirkan keraguan.
Tapi kelemahan manusiawi kita adalah jalan terbuka untuk melakukan eksodus, melihat pertolongan yang datang dari Tuhan. Iman melahirkan harapan yang mengarahkan kita pada jawabannya.
Demikianlah, dalam Roma 10:8-13, Rasul Paulus menegaskan bahwa keselamatan datang melalui iman kepada Yesus Kristus. “Sebab barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan” (Rom 10:13). Iman yang sejati bukanlah menantang Tuhan untuk menunjukan keilahian-Nya, tetapi percaya kepada-Nya dan mengandalkan DIA dalam setiap keadaan.
Iblis menggoda Yesus untuk mencobai Tuhan Allah. Ia menguji kesetiaan Yesus. Tapi Yesus tetap setia. Yesus mengajarkan kita bahwa puasa sejati melahirkan iman yang teguh. Iman yang teguh tidak memerlukan tanda dan bukti lain selain kepercayaan dan ketaatan pada Allah.
Kita dipanggil untuk tetap mengandalkan kekuatan Roh Kudus dan setia kepada Tuhan. Sebab kasih dan pemeliharaan-Nya selalu nyata dalam hidup kita, meskipun tidak selalu dalam bentuk yang kita harapkan.
Karena itu camkan kalimat Tuhan Yesus kepada setan dalam Injil hari ini. “Jangan mencobai Tuhan, Allahmu.” Amin.***